Kamis, 07 Desember 2017

Sejarah Kawruh Condro Sengkolo 4 ( Sejarah Dhuwojo Lanjutan )

Prajurit Laskar Gagak Pito 

Setelah berakhirnya kejayaan Gusti Patih Jayaningrat dengan bergodho Pasukanya Ardha Dedali, lambang dari Dhuwaja juga turut lenyap dan baru muncul kembali masa meletusnya perang jawa. Seperti tersebut diatas Gusti Patih Jayaningrat memiliki putra sebelas orang dan hanya satu yang laki-laki bernama pengeran Ariyo Wirobumi yang juga mengabdi di Metaram menjadi Senopati Bergelar Raden Tumenggung Banteng Mataram dan bermukim di Saptosari Gunungkidul. Beliau hanya memiki seorang putra bernama Muchammad Ilyas Sidiq akan tetapi memiliki kondisi yang kurang sempurna dengan dikaruniai cacat fisik berupa lumpuh di kaki sehingga tidak bisa berjalan. Akan tetapi karena beliau masih memiliki darah keturunan Sambi Pitu sehingga walaupun kondisinya sedemikian beliau juga memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Beliau menikah dengan Gusti Raden Ayu Retno Martuti Prawirodirjo cucu Pakubuono dari Solo bibi dari Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo.

Pada masa bergolaknya perang jawa dimana Panglima Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja atau Ali Basyah Sentot Prawirodirjo berperan sebagai Panglima Pasukan Laskar Bulkiyah atau pasukan berkuda khusus satuan elit  pengawal Pangeran Diponegoro yang sangat pemberani dan sangat ditakuti oleh pihak Belanda .

Kanjeng Pangeran Diponegoro


Pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV.

Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan.

Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!

Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).

Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa pada umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.

Panglima Ali Basyah Sentot Prawirodirjo


Muchammad Ilyas Sidiq sebagai paman dari Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo sebenarnya juga sangat ingin ikut berjuang mengusir penjajah belanda dari tanah Jawa akan tetapi karena keterbatasan kondisi fisiknya mengakibatkan beliau tidak kuasa karena cacat pada kaki hingga beliau tidak mampu berjalan atau lumpuh. Tetapi karena besarnya kecintaan beliau kepada tanah kelahiran dan semampu beliau dalam ikut andil berjuang membuat beliau kemudian mendirikan sebuah perguruan kanuragan diperuntukkan untuk menggembleng para prajurit perang Diponegaran. Perguruan yang didirikan beliau memakai nama Condro Sengkolo dan menjadi titik awal dari sesebutan nama Brayat Ageng Condro Sengkolo. 

Untuk menyamarkan kegiatan perguruan beliau memakai nama sepuh Kanjeng Cipta Ranurumekto atau lebih terkenal dengan sebutan Panembahan Condro Sengkolo. Dari sekian banyak siswanya, dipilih lima siswa andalan yang nantinya digembleng secara khusus untuk dijadikan senopati pengamping untuk Panglima Alibasyah Sentot Prawirodirjo dalam pejuanganya melawan Belanda. Kelima siswa pilihan tersebut adalah : 1) Pangeran Muchammad Sadeli  atau Mbah Sadeli dari daerah Bantul, 2) Raden Mas Komarullah Dzaini atau Mbah komar dari Pamekasan Madura, 3) Dhaeng Maradja Nagarai atau Eyang  Lembu Peteng dari Bugis Sulawesi, 4) Raden Mas Nur Syahid atau Eyang Lembu Seto dari Pengging Boyolali, 5) Syeik Syarifudin Hidayatullah atau Mbah Putih dari Ndemak Bintoro. 

Dari hasil gemblengan Eyang Panembahan Condro Sengkolo maka kelima siswa pilihan tersebut jadilah siswa yang pinunjul, memiliki kesaktian yang tinggi dan diwarisi satu ilmu andalan yaitu Ilmu “Panca Wara” atau “Lima Pukulan Badai” . Masing-masing dari beliau juga dibekali pusaka keris diantaranya : 1) Keris Kiyai Modhang Kecu milik Ki Sadeli, 2). Keris Kiyai Sembur milik Mbah Komar, 3) Keris Kiyai Sungsang milik Eyang Lembu Peteng, 4) Keris Kiyai Sabuk Tampar milik Eyang Lembu Seto dan 5) Keris Kiyai Pekik Tanding milik Mbah Putih.  Disamping mempunyai piandel keris yang ampuh juga juga dibekali dengan jimatan berupa Mustiko Jagad yang dipakai Mbah Sadeli, Mimis Kiyai sikumbang yang dipakai Eyang Lembu Seto, serta amalan Ke’re Wojo yang dirasuk Mbah Putih sehingga beliau kebal segala senjata.

Kelima siswa Condro Sengkolo selalu setia nderekke Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo dalam setiap pertempuran, namun sekuat dan sesakti apapun kelima siswa Condro Sengkolo dalam mengawal Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo tetap saja apes dan bisa dikalahkan karena pengkhianatan dari bangsa sendiri. Peristiwa ini terjadi kala adanya geger pertempuran Pecahnya Benteng Nanggulan yang sengaja diumpankan Belanda untuk mudah diserang Pasukan Bulkiyah dan setelah benteng terkuasai Belanda mengurung dari segala penjuru hingga hancurlah kekuatan pasukan Bulkiyah. Untung dalam pertempuran itu Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo bisa diselamatkan dan meloloskan diri berkat perejuangan habis-habisan dari kelima siswa Condro Sengkolo. Kelima siswa Condro Sengkolo berlari kearah timur namun karena kudanya sudah kelelahan akhirnya empat siswa berhasil ditangkap yaitu Mbah putih, Eyang Lembu Seto, Eyang Lembu Peteng dan Mbah Komar semetara Mbah Sadeli masih berusaha lari ke utara ke arah lereng Gunung Merapi dengan terus dikejar serdadu Belanda. Eyang Lembu Peteng ditembak mati, Mbah Komar digantung karena ditembak tidak mempan, Eyang Lembu Seto digantung tidak mati, ditembak juga tidak mempan akhirnya dibenamkan di sendang yang berlumpur hingga meninggal, Mbah putih juga wulet nyawanya diapa-apain tidak mati-mati, berbagai cara sudah dicoba diketahui juga kelemahanya yaitu di belakang telingga kiri yang tidak kebal, dan kala beliau sembahyang di watu kumaloso pas bersujud beliau ditembak di belakang telinga hungga tewaslah beliau. 

 Serdadu Belanda

Mbah Sadeli yang paling heroik, dikejar terus oleh serdadu Belanda hingga sampai daerah Jurang Jero lereng Merapi dan disitulah kudanya sudah tidak kuat lagi berlari. Mbah Sadeli lalu tetap memacukan kudanya nyemplung ke jurang dan bersembunyi di ujung jurang yang menyempit. Belanda tidak mau melepaskan buruanya hingga terus mengejar dan terus menembaki dari atas tebing. Dalam kondisi terjepit Mbah Sadli berdoa mohon kiranya bila memang hari itu menjadi akhir hidupnya beliau minta mati bersama dengan musuh yang menyerangnya, doa beliau dikabulkan dan dengan sepenuh tenaga beliau mengamalkan Ilmu Panca Wara dan dihantampan ke kiri kanan tebung hingga tebing longsor mengubur Mbah Sadeli beserta serdadu belanda tang mengejarnya. Dari longsoran tebing itu mengalir darah dari Mbah Sadli dan para serdadu Balanda yang menempel di batu hingga kini tidak hilang hingga tempat tersebut dinamakan Jurang Watu Abang.

Mendengar kabar tersebut, Kanjeng Cipto Ranurumekto atau Penembahan Condro Sengkolo merasa sangat bersedih karena lima murud kesayanganya gugur dalam perang puputan hingga mengakibatkan beliau jatuh sakit hingga wafat.

Lambang dari dhuwaja yang dipakai prajurit laskar Gagak Pitho yang dipimpin Mbah Sadeli kala bergabung dalam pasukan Diponegoro kurang lebihnya sama dengan yang kita pakai sekarang sebagai lambing Brayat Ageng Condro Sengkolo hanya sedikit beda di bagian atas lambing ada tulisan jawa “Gagak Pitho” dan bagian bawah bukan gambar pusaka keris tetapi dua tangan arah berlawanan yang dibelenggu.
Inilah sekelumit sejarah tentang Dhuwaja atau Lambang dari persaudaraan kita dalam keluarga besar Brayat Ageng Condro Sengkolo yang mungkin sedulur semua belum ketahui. Mudah-mudahan bisa menambah kerukunan kita sebagai warga “Paguyuban Ngerthi Aji Beteng Metaram”

Pretunggan Naga Dino



Pretungan Naga Dino.
 
( Paran Kang Kudu Disiriki Miturut Manggone Nogo Dina, Sasi lan Tahun )



 


Petungane Nogo dino iku werno werno, ono sing miturut dinone, ono sing miturut pasarane, utowo miturut neptu dino lan pasaran. Ugo ono maneh nogo sasi, nogo tahun lan nogo jatingarang. Yen nogo dino, nogo pasaran lan nogo neptu panggone pindhah saben dinane, ora koyo nogo sasi,nogo tahun lan nogo jatiungarang sing pindhahe saben telung sasi pisan. Koyo mangkene panggone nogo dino :

Akad : Kidul.
Senen : Kidul kulon.
Seloso : Kulon.
Rebo : Lor Kulon.
Kemis : Lor, Lor wetan.
Jumah : Wetan
Setu : Kidul Wetan

Panggone nogo pasaran :

Kliwon : Tengah.
Legi : Wetan.
Paing : Kidul.
Pon : Kulon.
Wage : Lor.

Panggone nogo miturut neptu dino lan pasaran :
Neptu dino lan neptu pasaran dijumlah yen ketemu :

7,12,17 : Nogo ono Lor Wetan.
8,13 : Nogo ono Lor Kulon.
9,14 : Nogo ono Kidul Kulon.
10,15 : Nogo ono kidul Wetan.
11,16,18 : Nogo ono wetan.

Panggone Nogo sasi (Ngalihe saben telung sasi) :

Poso, Sawal, Dulkaidah : Kidul.
Besar, Suro, Sapar : Kulon.
Mulud, Bakdamulud,Jemadilawal : Lor.
Jemadilakir, Rejeb, Ruwah : wetan.

Panggone nogo tahun (Ngalihe saben telung sasi) :

Besar, Suro, Sapar : Lor.
Mulud, Bakdamulud, Jemadilawal : Wetan.
Jemadilakir, Rejeb, Ruwah : Kidul.
Poso, Sawal, Dulkaidah : Kulon.

Panggone nogo jatingarang (Ngalihe saben telung sasi) :

Suro, Sapar, Mulud : Wetan.
Bakdomulud, Jemadilawal, Jemadilakir : Kidul.
Rejeb, Ruwah, Poso : Kulon.
Sawal, Dulkaidah, Besar : Lor.


Prayogane den weruhi, Sakabehing kaperluan ojo nganti marani panggone nogo, luwih luwih yen tumbuk annane nogo taun lan nogo jatingarang. Dene tumbuke nogo taun lan nogo jatingarang iku ono ing sasi Besar, Mulud, Jemadiulakir lan Poso....