Prajurit
Laskar Gagak Pito
Setelah berakhirnya kejayaan Gusti Patih
Jayaningrat dengan bergodho Pasukanya Ardha Dedali, lambang dari Dhuwaja juga
turut lenyap dan baru muncul kembali masa meletusnya perang jawa. Seperti
tersebut diatas Gusti Patih Jayaningrat memiliki putra sebelas orang dan hanya
satu yang laki-laki bernama pengeran Ariyo Wirobumi yang juga mengabdi di
Metaram menjadi Senopati Bergelar Raden Tumenggung Banteng Mataram dan bermukim
di Saptosari Gunungkidul. Beliau hanya memiki seorang putra bernama Muchammad
Ilyas Sidiq akan tetapi memiliki kondisi yang kurang sempurna dengan dikaruniai
cacat fisik berupa lumpuh di kaki sehingga tidak bisa berjalan. Akan tetapi
karena beliau masih memiliki darah keturunan Sambi Pitu sehingga walaupun
kondisinya sedemikian beliau juga memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Beliau
menikah dengan Gusti Raden Ayu Retno Martuti Prawirodirjo cucu Pakubuono dari
Solo bibi dari Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo.
Pada masa bergolaknya perang jawa dimana Panglima
Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja
atau Ali Basyah Sentot Prawirodirjo berperan sebagai Panglima
Pasukan Laskar Bulkiyah atau pasukan berkuda khusus satuan elit pengawal
Pangeran Diponegoro yang sangat pemberani dan sangat ditakuti oleh pihak Belanda
.
Kanjeng Pangeran Diponegoro
Pada pertengahan tahun 1825,
tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang
setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat
jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di
Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan
Diponegoro sebagai pemiliknya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan
pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai
tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti
oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya.
Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan
sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV.
Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang
menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar
berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial
Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro,
jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan.
Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah
mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang
menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas
rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran!
Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan
paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan
bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah
Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar
lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan
rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama
besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya
menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’
terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya,
diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran
Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang
penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah
Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul
Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan
penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran
Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro ke
kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari
Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi
sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke
Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah
melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro,
Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan
sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran
Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan
senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan
Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan
Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah
selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa
kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan
Jawa pada umumnya. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Panglima Ali Basyah Sentot Prawirodirjo
Muchammad Ilyas Sidiq sebagai paman dari Panglima
Ali Basah Sentot Prawirodirjo sebenarnya juga sangat ingin ikut berjuang
mengusir penjajah belanda dari tanah Jawa akan tetapi karena keterbatasan
kondisi fisiknya mengakibatkan beliau tidak kuasa karena cacat pada kaki hingga
beliau tidak mampu berjalan atau lumpuh. Tetapi karena besarnya kecintaan
beliau kepada tanah kelahiran dan semampu beliau dalam ikut andil berjuang
membuat beliau kemudian mendirikan sebuah perguruan kanuragan diperuntukkan
untuk menggembleng para prajurit perang Diponegaran. Perguruan yang didirikan
beliau memakai nama Condro Sengkolo dan menjadi titik awal dari sesebutan nama
Brayat Ageng Condro Sengkolo.
Untuk menyamarkan kegiatan perguruan beliau
memakai nama sepuh Kanjeng Cipta Ranurumekto atau lebih terkenal dengan sebutan
Panembahan Condro Sengkolo. Dari sekian banyak siswanya, dipilih lima siswa
andalan yang nantinya digembleng secara khusus untuk dijadikan senopati
pengamping untuk Panglima Alibasyah Sentot Prawirodirjo dalam pejuanganya
melawan Belanda. Kelima siswa pilihan tersebut adalah : 1) Pangeran Muchammad
Sadeli atau Mbah Sadeli dari daerah Bantul, 2) Raden Mas Komarullah Dzaini atau
Mbah komar dari Pamekasan Madura, 3)
Dhaeng Maradja Nagarai atau Eyang Lembu Peteng dari Bugis Sulawesi, 4) Raden
Mas Nur Syahid atau Eyang Lembu Seto
dari Pengging Boyolali, 5) Syeik Syarifudin Hidayatullah atau Mbah Putih dari Ndemak Bintoro.
Dari hasil gemblengan Eyang Panembahan Condro
Sengkolo maka kelima siswa pilihan tersebut jadilah siswa yang pinunjul, memiliki
kesaktian yang tinggi dan diwarisi satu ilmu andalan yaitu Ilmu “Panca Wara”
atau “Lima Pukulan Badai” . Masing-masing dari beliau juga dibekali pusaka
keris diantaranya : 1) Keris Kiyai Modhang
Kecu milik Ki Sadeli, 2). Keris
Kiyai Sembur milik Mbah Komar, 3) Keris
Kiyai Sungsang milik Eyang Lembu Peteng, 4) Keris Kiyai Sabuk Tampar milik Eyang Lembu Seto dan 5) Keris Kiyai Pekik Tanding milik Mbah
Putih. Disamping mempunyai piandel keris
yang ampuh juga juga dibekali dengan jimatan berupa Mustiko Jagad yang dipakai
Mbah Sadeli, Mimis Kiyai sikumbang yang dipakai Eyang Lembu Seto, serta amalan
Ke’re Wojo yang dirasuk Mbah Putih sehingga beliau kebal segala senjata.
Kelima siswa Condro Sengkolo selalu setia
nderekke Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo dalam setiap pertempuran, namun
sekuat dan sesakti apapun kelima siswa Condro Sengkolo dalam mengawal Panglima Ali
Basah Sentot Prawirodirjo tetap saja apes dan bisa dikalahkan karena pengkhianatan
dari bangsa sendiri. Peristiwa ini terjadi kala adanya geger pertempuran
Pecahnya Benteng Nanggulan yang sengaja diumpankan Belanda untuk mudah diserang
Pasukan Bulkiyah dan setelah benteng terkuasai Belanda mengurung dari segala
penjuru hingga hancurlah kekuatan pasukan Bulkiyah. Untung dalam pertempuran
itu Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo bisa diselamatkan dan meloloskan
diri berkat perejuangan habis-habisan dari kelima siswa Condro Sengkolo. Kelima
siswa Condro Sengkolo berlari kearah timur namun karena kudanya sudah kelelahan
akhirnya empat siswa berhasil ditangkap yaitu Mbah putih, Eyang Lembu Seto,
Eyang Lembu Peteng dan Mbah Komar semetara Mbah Sadeli masih berusaha lari ke
utara ke arah lereng Gunung Merapi dengan terus dikejar serdadu Belanda. Eyang
Lembu Peteng ditembak mati, Mbah Komar digantung karena ditembak tidak mempan,
Eyang Lembu Seto digantung tidak mati, ditembak juga tidak mempan akhirnya
dibenamkan di sendang yang berlumpur hingga meninggal, Mbah putih juga wulet
nyawanya diapa-apain tidak mati-mati, berbagai cara sudah dicoba diketahui juga
kelemahanya yaitu di belakang telingga kiri yang tidak kebal, dan kala beliau
sembahyang di watu kumaloso pas bersujud beliau ditembak di belakang telinga
hungga tewaslah beliau.
Serdadu Belanda
Mbah Sadeli yang paling heroik, dikejar terus
oleh serdadu Belanda hingga sampai daerah Jurang Jero lereng Merapi dan
disitulah kudanya sudah tidak kuat lagi berlari. Mbah Sadeli lalu tetap
memacukan kudanya nyemplung ke jurang dan bersembunyi di ujung jurang yang
menyempit. Belanda tidak mau melepaskan buruanya hingga terus mengejar dan
terus menembaki dari atas tebing. Dalam kondisi terjepit Mbah Sadli berdoa
mohon kiranya bila memang hari itu menjadi akhir hidupnya beliau minta mati
bersama dengan musuh yang menyerangnya, doa beliau dikabulkan dan dengan
sepenuh tenaga beliau mengamalkan Ilmu Panca Wara dan dihantampan ke kiri kanan
tebung hingga tebing longsor mengubur Mbah Sadeli beserta serdadu belanda tang
mengejarnya. Dari longsoran tebing itu mengalir darah dari Mbah Sadli dan para
serdadu Balanda yang menempel di batu hingga kini tidak hilang hingga tempat
tersebut dinamakan Jurang Watu Abang.
Mendengar kabar tersebut, Kanjeng Cipto
Ranurumekto atau Penembahan Condro Sengkolo merasa sangat bersedih karena lima
murud kesayanganya gugur dalam perang puputan hingga mengakibatkan beliau jatuh
sakit hingga wafat.
Lambang dari dhuwaja yang dipakai prajurit laskar
Gagak Pitho yang dipimpin Mbah Sadeli kala bergabung dalam pasukan Diponegoro
kurang lebihnya sama dengan yang kita pakai sekarang sebagai lambing Brayat
Ageng Condro Sengkolo hanya sedikit beda di bagian atas lambing ada tulisan
jawa “Gagak Pitho” dan bagian bawah bukan gambar pusaka keris tetapi dua tangan
arah berlawanan yang dibelenggu.
Inilah sekelumit sejarah tentang Dhuwaja atau
Lambang dari persaudaraan kita dalam keluarga besar Brayat Ageng Condro
Sengkolo yang mungkin sedulur semua belum ketahui. Mudah-mudahan bisa menambah
kerukunan kita sebagai warga “Paguyuban Ngerthi Aji Beteng Metaram”