Minggu, 10 September 2017

Sejarah Kawruh Condro Sengkolo 1 (awal mula)

"Nuwun sewu atas permintaan beberapa warga yang kurang begitu paham Bahasa Jawa untuk itu  beberapa post kami sampaikan dalam Bahasa Indonesia, nuwun...



Kilas balik sejarah
 "Tuntunan Laku Kautaman" menurut           "Kawruh Condro Sengkolo"


Berawal dari sebuah pedusunan yang subur di lereng Gunung Merapi pada masa akhir kekuasaan kerajaan Majapahit dan awal berdirinya Kerajaan Demak Bintoro. Tersebutlah desa itu bernama Sambbi Pitu yang letaknya kurang lebih sekitaran wilayah Boyolali. Secara Giografis letak dusun tersebut jauh dari pusat Kerajaan Majapahit yang berada di Jawa Timur dan tentunya perkembangan peradaban keagamaan yang ada juga kurang terpengaruh oleh Kerajaan Majapahit yang saat itu sebagian besar warganya menganut Agama Hindu dan Budha. Masyarakat di sana sebagian besar petani dan hidup rukun dengan dipimpin oleh seorang pemuka adat juga seorang Begawan dengan banyak cantrik yang berguru di padepokanya. Pada masa itu pendidikan secara formal berupa sekolag seperti saat sekarang belumlah ada, jadi pendidikan disebarluaskan melalui padepokan-padepokan yang mengajarkan "laku Kautaman"  dan juga ilmu-ilmu untuk membetengi diri dalam mengarungi kehidupanya kelak. 

Gambaran wilayah Sambipitu
boyolali masa kini 

Tersebutlah sebuah nama sang pemimpin adat juga pemimpin wilayah perdikan Sambipitu bernama Begawan Tirto Wening yang kelak bergelar Panembahan Condro Sengkolo yang untuk pertama kalinya "Ambabar" kawruh kautaman berdasarkan tatacara Condro Sengkolo yang kita ugemi dan lestarikan sampai sekarang. Dikisahkan pada suatu hari seorang Waliyullah yang bergelar Panembahan Tapa Lelono yang sejatinya Kanjeng Sunan Kalijaga singgah ke desa Sambipitu dan memberikan pengajaran tuntunan pengibadaha yang benar kepada masyarakat disana khususnya pada Begawan Tirta Wening tentang Ilmu Agama Islam yang pada waktu itu memang sedang berkembang pesat dengan mulai berkembang pesatnya pengaruh budaya Islam seiring berkebangnya kerajaan Demak Bintara. Begawan Tirta wening sudah berhasil diIslamkan dan mendapat pengetahuan tentang tatacara ibadah dan hukum-hukum keIslaman dari sang Waliyullah dan hampir semua penduduk di Sambipitu telah memeluk agama Islam berkat bimbingan sang Wali dan dengan dukungan dari Begawan  Tirta Wening. 

Dengan berjalanya waktu  ternyata Panembahan Tapa Lelono atau Kanjeng Sunan Kalijaga tidaklah lama menetap di Sambipitu dikarenakan harus berpindah tempat lagi untuk terus menyebarkan Agama Islam sehingga ilmu atau pengetahuan tentang keIslaman yang diperoleh para kawula Sambipitu baru seujung kuku saja. Sebagaimana kita ketahui untuk mempelajari Ilmu Agama Islam bukanlan suatu hal yang mudah. Tuntunan, doa dan  amalan semuanya menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang kalau kita pelajari secara serius pun tetap butuh waktu lama apalagi diajarkan secara kejar tayang seperti pada masa itu hingga menjadikan kebingungan diantara para kawula Sambipitu hingga bersandar kembali kepada sang Begawan Tirta Wening yang dirasa memiliki kebijaksanaan dan juga dianggap sebagai murid Panembahan Topo Lelono atau Kanjeng Sunan Kalijaga. Atas kegelisahan para kawula Sambipitu akhirnya sang Begawan memutuskan untuk maneges atau bersemedi mencari pencerahan dari Sang Pencipta guna mengatasi kegelisahan para kawula yang belum tau harus berbuat apa dalam melakukan panembah atau peribadahan karena sudah terlanjur diIslamkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.

Akhirnya Begawan Tirta wening berangkat bersemadi dengan berjalan ke arah barat mendaki lereng gunung Merapi hingga menemukan lokasi bersemadi berupa sebuah sendang dan oleh Begawan Tirta Wening dipakai untuk bersesuci dan menjalankan sembahyang sebisanya dan memutuskan untuk beristirahat disitu. Malam harinya dedanyang yang mbaureksa tempat itu merasa terusik keberadaanya dengan doa-doa dan peribadahan yang dilakukan sang Begawan Tirto Wening hingga sang dedanyang yang bernama "Dadung Mangrewo" berniat mencelakai sang Begawan dengan malih rupa menjadi garuda besar berbulu api terbang melayang-layang diatas sang begawan beristirahat.  Mengetahui ada danyang yang mengamuk sang Begawan segera dudk bersila menbaca amalan dan memohon keselamatan kepada Tuhan agar tidak mendapat celaka dari sang danyang yang mengamuk. Akhirnya siang malan sang Begawan beridiam dan bersemadi memohon petujuk Gusti sekalian menaklukkan sang dedanyang hingga sampailah pada hari yang keseratus tujuhbelas sang danyang menyerah dan takluk pada sang Begawan dan berubah wujud menjadi pusaka berupa gembung besi perunggu berbentuk Garuda yang diberi nama oleh sang Begawan bernama Ardha Dedali yang artinya Arda adalah api dedali adalah garuda atau singkatnya Garuda Api atau Garudha geni yang nantinya sebagai piandel bagi sang begawan dalam menyebarkan kawruh pangertosanya. Tempat dimana sang Begawan bersemedi yang berupa sendang sampai sekarang juga ditengeri dengan nama sendang Ardha Dedali sebagaimana nama pusaka yang diperoleh sang Begawan. Bersamaan dengan takluknya danyang "Dadung  Mangrewo" berakhir juga pertapaan sang begawan Tirto Wening dengan diperolehnya petunjuk mengenai lampah kautaman yang nantinya menjadi inti tuntunan kautaman untuk kita Brayat Ageng Condro Sengkolo.


Suasana Sendang Ardha Dedali


Sepulang dari bersemadi apa yang didapat dari perenunggan dan petunjuk dari Gusti Allah kemudian beliau sebarkan kepada para kawula Sambipitu dan dengan pola pikir yang sangat sederhana dan hingga terciptalah "Kawruh Pangertosan Kautaman " yang hingga saat ini masih kita pepetri sebagai "Ngilmu Bodo" dan masih kita laksanakan dalam kehidupan kita untuk anggayuh kasampurnan "Slamet Wilujeng Ing Ndonya lan Ngakherate"..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar