Dengan terus berjalanya waktu, kawruh kautaman yang dibawa dan disebarkan oleh Beliau Panembahan Condro Sengkolo1 atau Sang Begawan Tirta Wening terus berkembang hingga banyak sekali warga dari Sambipitu bahlan dari luar Sambipitu yang ikut menganut Laku Kautaman yang diajarkan Beliau. Dari tiga orang murid Kanjeng sunan Kalijaga yang dalam waktu bersamaan diIslamkan dan diajarkan ilmu Agama oleh Kanjeng Sunan Kalijaga hanya beliaulah sang Begawan Tirta Wening yang mengembangkan dan mengamalkan ilmunya untuk sesama. Dua murid lainya yaitu Pangeran Ariyo Herbandang atau nama sepuhnya bergelar Kiyai Senggot hanya sedikit menyebarkan ilmu dan pengaruhnya di daerah Temanggung dan makamya ada di Candirata Temanggung, sedangkan seorang lagi yang bernama Resi Gagak Handaka atau neme sepuhnya Ki Ageng Sarpawana tidak begitu banyak berkiprah dalam dakwah dan makamya ada di daerah Tambakrejo Ngaglik Sleman.
Panembahan Condro Sengkolo atau Begawan Tiro Wening memiliki putra tunggal dari istri bernama Raden Ayu Tulak Bronto bernama Raden Mas Brojo Guno atau dengan nama sepuh Panembahan Kiyai Joko. Selama mengajarkan kawruh kautaman di Sambipitu beliau memiliki empat orang murid utama yang tertuwa bernama Pangeran Jaya Sentika atau dengan nama sepuh Kiyai Wono Salam, yang kedua Mas Bei Djarot Adimanggolo atau dengan nama sepuh Kiyai Ageng Bagelen, yang ketiga Raden Bagus Menot dengan nama sepuh Kiyai Trenggiling Braja, sedangjan yang terakhir bernama Raden Sambara atau dengan nama sepuh Tumenggung Rajeg Wesi. Kiyai Wonosalam mengabdi di kerajaan Metaram sebagai Abdi Dhalem Kanca Kaji atau Pamethakan dan tidak menyebarkan kawruh Condro Sengkolo. Kiyai Ageng Bagelen menetap di daerah Bagelem Purwarejo dan beliau sedikit mengajarkan kawruh Condro Sengkolo hingga saat ini masih ada sedikit penganut di daerah Purworejo yang dipangarsani Bapak Hadi Siswaya di Mbayan. Kiyai Trenggiling Braja menetap di Daerah Kaliwungu Kendal dan tidak mengajarkan kawruh Condro Sengkolo dan beliau dimakamkan di Kalibiru Kendal. Yang terakhir Raden Sambara atau dengan nama sepuh Tumenggung Rajeg Wesi mengabdi di Kraton Metaram sebagai Adipati Sabrang Elor menguwasai daerah Cirebon dan Indramayu dan sangat terkenal kesaktianya dengan menguwasai pusaka Cemeti bernama Cemeti Amal Rashuli dan sebagai wakil Adipati Kendal Gusti Adipati Bahureksa.
Putra Begawan Tirta Wening yang bernama Penembahan Kiyai Joko menikah dengan Raden Ayu Galuh Ambar Wati putra adipati Bahurekso Kendal dan dikaruniai enam orang putra hanya satu yang laki-laki bernama Raden Mas Anom Wiro Negoro dan sebagai penerus Condro Sengkolo beliau juga sangat terkenal kesaktianya dengan mewarisi Pusaka Gembung Arda Dedali milik sang kakek Begawan Tirto Wening. Beliau juga memiliki pusaka keris pusaka bernama Kiyai Gotro berdapur Kolonadah luk lima yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Setelah dewasa beliau mengabdi di Metaram dan karena kesaktianya beliau diangkat menjadi senopati bahkan oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo beliau diberikan pangkat kedudukan sebagai Pepatih Njawi dan diberikan kalenggahan berupa tanah perdikan di Wono Cangkring yang ppada masa sekarang lebih dikenal sebagai wilayah Cangkringan kabupaten Sleman. Sebagai Pepatih Njawi beliau mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Patih Jayaningrat dan makam beliau di dusun Gadingan Argomulya Cangkringan. Untuk tokoh yang satu ini ada kisah menarik yang nantinya akan kita haturkan dalam pembahasan sejarah perkembangan Condro Sengkolo.
Gusti Patih Jayaningrat
Gusti Patih Jayaningrat menikah dengan Ni Gusti Cokorda Ayu Laksita Dewi putri dari bangsawan bali dan dikaruniai sebelas orang putra dan hanya satu yang mewarisi Kawruh Condro Sengkolo yaitu putranya yang bernama Pangeran Ariyo Wirobumi yang juga masih keturunan wong sekti dan juga mengabdi di Metaram dan menjadi Senopati bergelar Tumenggung Banteng Metaram dan tinggal di Saptosari Gunungkidul.
Tumenggung Banteng Metaram menikah dengan Cut Shalamah Binti Muchammad Sholeh Ditiro putri dari ulama Aceh dan hanya memiliki seorang putra bernama Muchammad Ilyas Sidiq yang terlahir dalan kondisi cacat kaki yaitu lumpuh tidak bisa berjalan. Tetapi karena beliau masih darah keturunan Sambipitu, beliau juga memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Pada masa itu meletuslah perang jawa dimana Pangeran Diponegoro berperang melawan Kompeni Belanda. Kiyai Ilyas Sidiq sebenarnya sangat ingin sekali ikut membantu berperang tetapi karena keadaan fisiknya yang tidak memungkinkan beliau akhirnya mendidik murid-muridnya sejumlah lima orang untuk menjadi senopati pendamping dari keponakan istri beliau yaitu Panglima Ali Basah Sentot Prawirodirjo. Kelima murid beliau yang pertama adalah Pangeran Muchammad Sadeli atau biasa dipanggil Mbah Sadli dari mentaram, yang kedua bernama Daeng Maradja Nagarai dari Bugis atau biasa dipanggil Mbah Lembu Peteng, yang ketiga adalah Raden Mas Nur Syahid dari Kartosuro biasa dipanggil Mbah Lembu Seto, yang keempat bernama Raden Mas Komarullah Dzaini dari Pamekasan Mdura biasa dipanggil Mbah Komar, yang terakhir Seikh Syarifudin Hidayatullah dari Pasai biasa dipanggil mbah Putih. Dari beliaulah Kawruh Condro Sengkolo berkembang pesat dan karena untuk menghidari kecurigaan Belanda beliau memakai nama Kanjeng Cipto Ranurumekto karena bila memakai nama Kiyai Muchammad Ilyas Sidiq bisa dicurigai belanda sebagai tempat pergerakan perlawanan melawan Belanda. Kenjeng Cipto Ranurumekto lenggah di Wonogiri sampai wafatnya dan disarekke di wonogiri.
Panglima Alibasah Sentot Prawirodirjo
Kanjeng Cipto Ranurumekto menikah dengan Gusti Raden Ayu Retno Martuti Prawirodirjo cucu Pakubuono dari Solo bibi dari Pangloma Ali Basah Sentot Prawirodirjo dikaruniai dua orang putra dan salah satunya meneruskan Ajaran Kawruh Condro Sengkolo bernama Pangeran Alit Ptawirodirjo dan ketika sepuh bernama Kiyai Abdul Wahab Prawirodirjo dan terus aktif melestarikan kawruh Condro Sengkolo.
Kiyai Abdul Wahab menikah dengan Raden Ayu Tejowati Kolopaking dari Banjarnegara masih cucu dari Adipati Kolopaking dan masih keturunan Kiyai Ageng Bagelen. Dari pernikahan tersebut dikaruniai delapan orang putra hanya satu orang yang laki-laki bernama Khasan Bushari Prawirodirjo Zen yang kelak memakai nama sepuh Mbah Khasan Bushari yang mewariskan Pangertosan Lampah Kautaman Condro Sengkola kepada saya dan masih saya pepundi sampai saat ini untuk bisa tetap lestari.
Mbah Kiyai Khasan Bushari Prawirodirjo Zen
Mbah Khasan Bushari menikah dengan Raden Roro Mintarsih cucu dari Kiyai Subkhi Bahmawi dari Panggul Trenggalek Jawatimur dan dikaruniai empat oran putra tidak ada yang laki-laki sehingga Pangertosan turun temurun menurut garis darah putus sampai di sini dan hanya sayalah dari sekian banyak murid beliau yang masih setia menjaga dan melestarikan pangertosan ini walaupun saya tidak ada garis darah dari beliau tetapi minimal saya juga murut beliau. Mudah-mudahan tuhan selalu memberi kelancaran dalam saya melestarikan tinggalan beliau ini dan selalu memberi manfaat bagi sesama.
cerita eyang jayaningrat yg semare nggadingan agak berbeda dengan yg saya dengar dari ayah saya. Putra eyang jayaningrat adalah eyang kusumaningrat semare di desa kepurun. Eyang Jayaningrat adalah pepatih dalem di Solo. Dan kabarnya dari isteri-isteri beliau..keturunannya tersebar di solo, klaten dan yogyakarta, wallahualam...
BalasHapus