DHUWOJO CONDRO SENGKOLO
"Sejarah Serta Makna Tersimpan Dari Lambang Condro Sengkolo"
Lambang Condro Sengkolo
Sebagaimana kita ketahui lambang dari Brayat Ageng Condro Sengkolo adalah seperti yang ada diatas ini dan apabila kita perdalam lebih lanjut dari lambang tersebut tersimpan sejarah dan makna yang terpendam yang memiliki arti sangat mendalam. Adapun sejarah dan makna dari perlambang tersebut akan kita sampaikan sebagai berikut :
1. Sejarah Dhuwaja ( Perlambang )
Awal mula perlambang ini muncul kala terjadinya peristiwa Geger Kaladuta atau masa kerajaan Metaram dibawah kekuasaan Kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo yang merasa tidak suka akan kehadiran VOC belanda yang mencampuri terlalu dalam urusan keraton hingga beliau mengirimkan pasukan tempur untuk menyerbu kedudukan Belanda di Beteng Batavia. Seperti uraian terdahulu sebagaimana kita ketahui cucu dari Panembahan Condro Sengkolo 1 atau Begawan Tirto Wening yang bernama Raden Mas Anom Wiro Negoro yang nantinya diangkat menjadi Panglima perang kraton Metaram dan juga diangkat menjadi Pepatih Njawi atau Bupati Monco Negoro bergelar Gusti Patih Jayaningrat juga didaulat untuk maju perang ke Batavia bersama Panglima Agung Kanjeng Tumenggung Bahurekso adipati Kendal, Kanjeng Tumenggung alap-alap dan juga Kanjeng Tumenggung Suro Agul-agul juga diperkuat oleh tumenggung Rajeg Wesi bupati Indramayu dengan pasukanya laskar Tadah Nyawa. Gusti Patih Jayaningrat juga membawa prajurit segelar sepapan yang terdiri dari para kawula Sambipitu yang ikut ngayon di perdikan Wonocangkring yang sudah dibabar menjadi tanah perkampungan yang subur saat ini bernama Cangkringan dan sebagian besar dilatih menjadi prajurit penderek Gusti Patih yang diberi nama laskar Ardha Dedali dengan lambang dhuwaja alatu bendera rontek berbentuk seperti lambang Condro Sengkolo yang waktu itu disebut Dhuwojo Gagak Pitho yang gambarnya menjadi inspirasi untuk lambang Condro sengkolo sekarang ini. Nama laskar Ardha Dedali diambil dari nama dedanyang di sendang Ardha Dedhali Sambipitu juga nama dari pusaka andalan beliau berupa Gembung Garuda bernama Ardha Dedali.
Replika Pusaka Gembung Ardha Dedali
Dikisahkan Kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo sukses menghancurkan Batavia pada ekspedisi Kala Duta pertama. Misi ini berhasil berkat taktik para panglima Metaram dengan cara membendung kali Ciliwung sehingga suplai air di benteng Baravia menipis hingga terjadi wabah desentri dan kolera hingga banyak menewaskan para warganya dan para serdadu VOC Belanda hingga benteng Batavia bisa diduduki. Bala bantuan Belanda datang dari arah Anyer dan akhirnya setelah bisa dikuasai beberapa bulan benteng pertahanan Belanda di Batavia berhasil direbut kembali oleh VOC Belanda dan pasukan metaran kembali ke Jawa Tengah kembali menyusun kekuatan.
Namun halnya dengan ekspedisi Kala Duta ke dua terjadi kegagalan telak bagi pihak metaram. Prajurit Metaram banyak yang gugur kerana kurangnya suplai logistik dengan dibakarnya lumbung-lumbung pangan yang dibangun di sepanjang jalan yang dilakukan oleh antek-antek para bupati Brang Kulon atau wilayah Pasundan yang menjadi pengkhianat memihak pada VOC Belanda. Kegagalan misi ini sangat mengecewakan Kanjeng Sultan Agung Hanyakra Kusuma hingga banyak para senopati yang pulang ke Metaram dengan membawa kegagalan dijatuhi kukuman mati hingga banyak prajurit Metaram yang memilih tidak kembali ke Metaram dan menetap di posisi mereka berada.
Hal yang demikian menjadikan Gusti Patih Jayaningrat menjadi bingung harus menentukan sikap. Ingin kembali sowan ke Metaram takut mendapat hukuman mati dari Kanjeng Sultan dan apabila tidak sowan dianggap membangkang dan berniat memberontak. Dari pikiran yang kacau balau, rasa cinta pada negeri dan sangat membenci penjajah Belanda juga pengkhianatan para bupati brang kulon, ditambah rasa takut akan pidana yang akan diterima sehingga membuat pikiran beliau menjadi goncang dan akhirnya terganggu jiwanya. Hal yang demikian sangat mengkhawatirkan kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo atas keselamatan warganya dan karena diketahui Gusti Patih Jayaningrat sangat sakti hingga tidak ada yang berani menasehati apalagi meringkus beliau untuk disowanake ke Metaram.
Mengetahui hal yang demikian, Kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo kemudian mengutus Kiyai Wono Salam abdi beliau untuk menghadapi Gusti Patih Jayaningrat karena Ki Wono Salam adalah murid dari Begawan Tirto Wening yang masih satu garis keilmuan dari Gusti Patih Jayaningrat. Akhirnya bertemulah Ki Wono Salam dan Gusti Patih Jayaningrat dan mulailah ki Wono Salam memberikan nasehat pada Gusti Patih Jayaningrat untuk segera sowan ke Metaram dan dijamin tidak akan mendapat hukuman pidana dan diajak kembali mengabdi untuk kemakmuran bumi Metaram. Namun halnya dengan Gusti Patih Jayaningrat yang sudah terganggu pikiranya tidak terima akan nasehat tersebut dan malah menantang ki Wono Salam untuk beradu kesaktian hingga tak bisa dielakkan lagi terjadilah peperangan adu kesaktian antara dua pewaris Condro Sengkolo hingga ramai dan berlangsung lama sekitar sembilan hari. Masing-masing sama-sama memiliki kesaktian yang tinggi hingga di suatu tempat masing-masing menggunakan aji triwikrama berubah menjadi gajah dan bertarung menggunakan senjata gading. Serang menyerang dan saling menangkis dengan senjata gading atau gajah yang gading gadingan hingga tempat tersebut saat ini diberi nama dusun Gadingan.
Dusun Gadingan Masa Sekarang
Pertarungan terus berlangsung hingga Ki Wono Salam sedikit kerepotan menghadapi kesaktian Gusti Patih Jayaningrat hingga menjadi kurang waspada hingga beliau kalah menahan serangan dan patahlah satu gadingnya atau diistilahkan sempal gadinge dan saat sekarang tempat dimana gading yang sempal tersebut diberi nama dusun Palgading.
Merasa berada diatas angin Gusti Patih Jayaningrat trembeh bersemangat dalam bertarung dan karena pikiran yang sudah terganggu tanpa sadar beliau malah sesumbar dan membuka rahasia kelemahanya sendiri. Dengan tertawa tawa beliau menantang semua kawula Metaram dengan berkata ' Heh koe kabeh kawulo Mentaram, Ayoh tandingono iki Jayaningrat... mengertiyo heh yen mung wlahare Gunung Merapi kang biso anglebur jagadku". Mendengar perkataan Gusti Patih Jayaningrat tersebut yang tanpa sengaja membuka rahasia kelemahanya, Ki Wono Salam segera utusan abdi untuk matur ke kanjeng Sulta Agung Hanyokro Kusumo . kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo segera mangsah semadi menemui pepundenya Kanjeng Ratu Kidul dan segera mengutarakan maksudnya untuk bisa mengatasi Gusti patih Jayaningrat dengan mengutarakan rahasia kelahanya. Mendengar permohonan dari Kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo, Kanjeng Ratu Kidul sang penguwasa Laut Selatan segera memanggil Kiyai Sapu Jagat penguwasa Gunung Merapi yang dulu merupakan pepatihnya di Kedaton Kidul untuk segera mengeluarkan wlaharnya untuk menaklukkan Gusti Patih Jayaningrat demi keselamatan kawulo di Metaram.
Akhirnya wlahar gunung merapi keluar juga dari puncaknya atas titah dari Kanjeng Ratu Kidul dan mengalir ke bawah arah Gusti Patih Jayaningrat dan Ki Wonosalam sedang bertarung. Mengetahui akan datangnya wlahar dari puncak merapi dan mengarah kepadanya, Gusti Patih Jayaningrat segera beranjak untuk meninggalkan tempat itu tetapi dengan cepat Ki Wonosalam yang sedari tadi sudah mendekati kekalahan dengan sisa-sisa tenaga terakhir memegangi ( Ngendoli ) kaki dari Gusti Patih Jayaningrat hingga beliau tidak bisa beranjak sadi situ. Merasa kakinya digendoli ki Wono Salam dan kesulitan kala akan menghindari turunya Wlahar membuat Gusti Patih Jayaningrat ngipatake atau melemparkan ki Wonosalam ke arah barat dan setelah terlepas lalu berusaha menghindar dari wlahar, namun terlambat karena wlahar sudah terlanjur menggulung beliau beserta kawulanya hingga lebur ditelan bumi. Tempat dimana ki Wonosalam nggendoli kaki dari Gusti Patih Jayaningrat saat sekarang dinamakan dengan nama kali Nggendol.
Cungkup Makam Gusti Patih Jayaningrat
Akan halnya ki Wono Salam yang terlempar ke barat dan jatuh di barat kali Kuning pas mengenai watu kemloso dan menyebabkan beliau Ki Wono Salam meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Untuk waktu sekarang tempat dimana Ki Wono Salam gugur dan dimakamkan diberi nama Dusun Wono Salam.
Dengan berakhirnya pertempuran adu kesaktian antara Gusti Patih Jayaningrat dengan Ki Wono Salam dengan gugurnya kedua tokoh tersebut berakhir pula masa kejayaan Laskar Ardha Dedali dengan Duwojo Gagak Pito yang menjadi kebanggaan pada masa itu. Bangkit lagi pada masa Perang jawa atau Perang Diponegoro yang kisahnya akan kita post pada post berikutnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar